Anggap saja dalam hidup ini kau bermain lempar bola dengan 5 bola sekaligus. Kelima bola itu masing-masing disebut dengan pekerjaan, keluarga, kesehatan, persahabatan, dan integritas. Dan kau harus tetap menjaga agar semua bola itu tetap berada di udara. Tapi suatu hari kau akan mengerti bahwa pekerjaan adalah bola yang terbuat dari karet. Kalau bola itu terjatuh, ia akan memantul kembali. Tapi keempat bola yang lain --- keluarga, kesehatan, persahabatan, integritas --- semuanya terbuat dari kaca. Kalau salah satu diantaranya terjatuh, bola itu akan tergores, gempil, atau bahkan pecah. Dan begitu kau memahami makna cerita dari 5 bola itu, kau akan mulai mendapatkan keseimbangan dalam hidup...
Hari Sabtu tanggal 15 Mei 2010, kami bertekad mengunjungi Pulau Tidung yang terletak di Kepulauan Seribu. Dengan mengendarai taxi, kami berempat aku, Bu Lisa, Om Hendrawan dan Hendra berangkat menuju Muara Angke. Sesampai di Muara Angke kami disambut oleh bau amis pasar ikan, ternyata disana sudah banyak orang yang akan berwisata di Kepulauan Seribu. Setelah semua rombongan kami berkumpul (diawali perkenalan tentunya karena kami belum saling kenal hihihi...), kami menuju kapal yang akan menuju Pulau Tidung. Kami sempat bingung memilih kapal mana yang kami tumpangi karena ada kapal yang tujuannya berbeda yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Bidadari. Akhirnya kami menggunakan Kapal Madina. Kami berangkat meninggalkan Muara Angke pada pukul 07.15, lama perjalanan kurang lebih 2,5 jam. Karena didalam rombongan kami terdapat beberapa orang photographer maka terjadilah aksi narciscus di dalam kapal.
Sesampainya di Pulau Tidung kami disambut oleh keramahan penduduk dan wisatawan lokal yang bersepeda (maklum sepeda adalah kendaraan yang paling trendy di Pulau Tidung). Di Pulau Tidung tidak terdapat hotel, kami menginap di rumah penduduk. Kami menempati rumah mungil yang memiliki 3 kamar tidur milik Bapak Mustajab. Hidangan makan siang pun sudah tersedia, mungkin karena laparnya, semua makanan ludes kami sikat.
Saatnya snorkling time, dengan berpakaian renang kami menaiki kapal menuju Pulau Aer, untuk yang memiliki hobby snorkling tempat ini adalah pengobat rindu untuk mengunjungi ikan-ikan yang berwarna-warni, namun sayang di tempat snorkling banyak terdapat sampah yang terapung serta terumbu karang yang rusak. Kami juga mampir ke Pulau Karang Beras, pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Daya tarik Tidung hanyalah jembatan yang menghubungkan Tidung Besar dan Tidung Kecil. Jembatan ini dikenal dengan nama Jembatan Cinta (entahlah...dari mana nama ini diambil), kami berjalan kaki dari rumah menuju jembatan tersebut, cukup jauh tapi ada becak motor juga yang mengangkut kami balik ke rumah.
Bangun....bangun...kita harus mengejar sunrise. Tapi cuaca tidak mendukung akhirnya terjadilah foto post wed Ami dan Hendra yang dibidik oleh Bu Lisa, Om Hendrawan dan Mas Obenk.
Wah, hujan turun ketika kita akan berangkat menuju pelabuhan, terpaksa lari-lari deh. Pada pukul 13.10 kapal Madina membawa kami kembali ke Muara Angke. Gelombang di lautpun lumayan besar, banyak penumpang yang Jackpot karena kapal terguncang-guncang ditambah kondisi kapal yang full...
Terima kasih buat Ibu Lisa, Om Hendrawan, Fitri, Tetty, Mimoy, Ria, Obenk, Adi dkk. Mudah2an kita bertemu lagi di tempat yang lebih seru...
Pertemuan kembali antara guru dan muridnya, Mitch Albom dan Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang pernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.
Morrie menderita amyotripic lateral sclerosis (ALS), sebuah penyakit ganas yang menyerang system saraf. Pada sisa hidupnya inilah Morrie memberikan kuliah tentang hidup kepada Mitch Albom.
Beberapa percakapan antara Morrie dan Mitch, dirangkum di bawah ini.
Begitu banyak orang yang menjalani hidup mereka tanpa makna sama sekali. Mereka seperti separuh terlelap, bahkan meskipun mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini karena mereka memburu sasaran-sasaran yang salah. Satu-satunya cara agar hidup ini bermakna adalah mengabdikan diri untuk menyayangi orang lain, mengabdikan diri pada masyarakat disekitar kita, dan mengabdikan diri untuk menciptakan sesuatu yang memberi kita tujuan serta makna.
Yang paling berarti dalam hidup adalah belajar cara memberikan cinta kita, dan membiarkan cinta itu datang. Kita mengira bahwa kita tak usah peduli dengan cinta, kita mengira bahwa kalau terpengaruh kita akan jadi lembek. Tapi orang yang namanya Levinas pernah berkata, ‘Cinta adalah satu-satunya perbuatan yang rasional’
Kadang-kadang kita tak boleh percaya dengan apa yang kita lihat, kita harus percaya dengan apa yang kita rasakan. Dan jika kita ingin orang lain percaya pada kita, kita harus merasa bahwa kita dapat mempercayai mereka juga-bahkan meskipun kita sedang dalam kegelapan. Bahkan ketika kita sedang terjatuh.
Andaikan dua sahabat pada suatu hari dipertemuakn, yang seorang tidak mampu bicara, yang lain tidak bisa mendengar. Apa yang akan terjadi?
“Kami akan berpegangan tangan,” sahut Morrie. “Maka banyak cinta yang akan mengalir diantara kami. Persahabatan kami telah terjalin selama tiga puluh lima tahun. Kami tidak perlu bicara atau mendengar untuk merasakannya.”
“Begitu kita ingin tau bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup.”
Mematikan perasaan tidak berarti kita membiarkan pengalaman meresap ke dalam diri kita. Sebaliknya, kita membiarkan pengalaman meresap secara penuh. Itulah sebabnya kemudian kita bisa mematikan rasa.
“Ambil contoh salah satu emosi-cinta kepada seorang wanita, atau kasihan kepada orang yang kita sayangi, atau yang kualami, rasa takut dan rasa nyeri akibat penyakit yang mematikan. Apabila kita menahan emosi-emosi itu-apabila kita tidak membiarkan diri mengalaminya – kita tidak pernah dapat mematikan rasa, kita terlalu sibuk menghadapi rasa takut. Kita takut menghadapi rasa nyeri, kita takut mengalami rasa sedih. Kita takut mengalami penderitaan akibat cinta.”
“Tapi dengan membiarkan diri mengalami emosi-emosi ini, dengan mambiarkan diri terjun ke dalamnya, sampai sejauh-jauhnya, kita akan kita akan mengalaminya secara penuh dan utuh. Kita tahu arti sakit, Kita tahu arti sedih, Dan hanya ketika kita mengatakan, baiklah, aku telah mengalami emosi itu. Aku kenal betul emosi itu. Sekarang aku perlu mematikan perasaan dari emosi itu untuk sementara waktu.”
“Semakin bertambah usia kita, semakin banyak yang kita pelajari. Apabila usia kita tetap dua puluh tahun, kita akan sama bodohnya dengan ketika usia dua puluh tahun. Kita tahu bahwa penuaan tidak hanya berarti pelapukan, tetapi juga pertumbuhan. Penuaan tidak hanya bermakna negatif, bahwa kita akan mati, tetapi juga makna positif, bahwa kita mengerti kenyataan bahwa kita akan mati, dan karena itu kita berusaha hidup dengan cara yang lebih baik.”
“Banyak orang merasa hidup ini tidak memuaskan, ada keinginan yang tidak terpenuhi. Hidup terasa tidak bermakna. Karena kita telah menemukan makna hidup, kita tak ingin kembali. Kita ingin lanjut ke depan. Kita ingin tahu lebih banyak lagi, berbuat lebih banyak lagi. Dan kita tak sabar menunggu sampai usia kita enam puluh lima tahun.”
Ada beberapa aturan yang menurutku berlaku untuk cinta dan perkawinan: kalau kita tidak menghormati pihak lain, kita akan mendapatkan banyak masalah. Kalau kita tidak mampu bicara terbuka tentang apapun yang terjadi kita dan pasangan, kita akan mendapatkan banyak masalah. Dan kalau kita tidak memiliki seperangkat nilai yang kita sepakati dalam hidup, kita juga akan mendapatkan banyak masalah. Nilai-nilai yang kita anut harus sama. Nilai yang tepenting adalah keyakinan tentang pentingnya perkawinan kita.
Menurutku perkawinan adalah babak yang sangat penting yang perlu kita lalui, dan kita akan kehilangan banyak sekali kalau kita tidak mencobanya.
“Saling mencintai atau punah.”
Morrie menderita amyotripic lateral sclerosis (ALS), sebuah penyakit ganas yang menyerang system saraf. Pada sisa hidupnya inilah Morrie memberikan kuliah tentang hidup kepada Mitch Albom.
Beberapa percakapan antara Morrie dan Mitch, dirangkum di bawah ini.
Begitu banyak orang yang menjalani hidup mereka tanpa makna sama sekali. Mereka seperti separuh terlelap, bahkan meskipun mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini karena mereka memburu sasaran-sasaran yang salah. Satu-satunya cara agar hidup ini bermakna adalah mengabdikan diri untuk menyayangi orang lain, mengabdikan diri pada masyarakat disekitar kita, dan mengabdikan diri untuk menciptakan sesuatu yang memberi kita tujuan serta makna.
Yang paling berarti dalam hidup adalah belajar cara memberikan cinta kita, dan membiarkan cinta itu datang. Kita mengira bahwa kita tak usah peduli dengan cinta, kita mengira bahwa kalau terpengaruh kita akan jadi lembek. Tapi orang yang namanya Levinas pernah berkata, ‘Cinta adalah satu-satunya perbuatan yang rasional’
Kadang-kadang kita tak boleh percaya dengan apa yang kita lihat, kita harus percaya dengan apa yang kita rasakan. Dan jika kita ingin orang lain percaya pada kita, kita harus merasa bahwa kita dapat mempercayai mereka juga-bahkan meskipun kita sedang dalam kegelapan. Bahkan ketika kita sedang terjatuh.
Andaikan dua sahabat pada suatu hari dipertemuakn, yang seorang tidak mampu bicara, yang lain tidak bisa mendengar. Apa yang akan terjadi?
“Kami akan berpegangan tangan,” sahut Morrie. “Maka banyak cinta yang akan mengalir diantara kami. Persahabatan kami telah terjalin selama tiga puluh lima tahun. Kami tidak perlu bicara atau mendengar untuk merasakannya.”
“Begitu kita ingin tau bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup.”
Mematikan perasaan tidak berarti kita membiarkan pengalaman meresap ke dalam diri kita. Sebaliknya, kita membiarkan pengalaman meresap secara penuh. Itulah sebabnya kemudian kita bisa mematikan rasa.
“Ambil contoh salah satu emosi-cinta kepada seorang wanita, atau kasihan kepada orang yang kita sayangi, atau yang kualami, rasa takut dan rasa nyeri akibat penyakit yang mematikan. Apabila kita menahan emosi-emosi itu-apabila kita tidak membiarkan diri mengalaminya – kita tidak pernah dapat mematikan rasa, kita terlalu sibuk menghadapi rasa takut. Kita takut menghadapi rasa nyeri, kita takut mengalami rasa sedih. Kita takut mengalami penderitaan akibat cinta.”
“Tapi dengan membiarkan diri mengalami emosi-emosi ini, dengan mambiarkan diri terjun ke dalamnya, sampai sejauh-jauhnya, kita akan kita akan mengalaminya secara penuh dan utuh. Kita tahu arti sakit, Kita tahu arti sedih, Dan hanya ketika kita mengatakan, baiklah, aku telah mengalami emosi itu. Aku kenal betul emosi itu. Sekarang aku perlu mematikan perasaan dari emosi itu untuk sementara waktu.”
“Semakin bertambah usia kita, semakin banyak yang kita pelajari. Apabila usia kita tetap dua puluh tahun, kita akan sama bodohnya dengan ketika usia dua puluh tahun. Kita tahu bahwa penuaan tidak hanya berarti pelapukan, tetapi juga pertumbuhan. Penuaan tidak hanya bermakna negatif, bahwa kita akan mati, tetapi juga makna positif, bahwa kita mengerti kenyataan bahwa kita akan mati, dan karena itu kita berusaha hidup dengan cara yang lebih baik.”
“Banyak orang merasa hidup ini tidak memuaskan, ada keinginan yang tidak terpenuhi. Hidup terasa tidak bermakna. Karena kita telah menemukan makna hidup, kita tak ingin kembali. Kita ingin lanjut ke depan. Kita ingin tahu lebih banyak lagi, berbuat lebih banyak lagi. Dan kita tak sabar menunggu sampai usia kita enam puluh lima tahun.”
Ada beberapa aturan yang menurutku berlaku untuk cinta dan perkawinan: kalau kita tidak menghormati pihak lain, kita akan mendapatkan banyak masalah. Kalau kita tidak mampu bicara terbuka tentang apapun yang terjadi kita dan pasangan, kita akan mendapatkan banyak masalah. Dan kalau kita tidak memiliki seperangkat nilai yang kita sepakati dalam hidup, kita juga akan mendapatkan banyak masalah. Nilai-nilai yang kita anut harus sama. Nilai yang tepenting adalah keyakinan tentang pentingnya perkawinan kita.
Menurutku perkawinan adalah babak yang sangat penting yang perlu kita lalui, dan kita akan kehilangan banyak sekali kalau kita tidak mencobanya.
“Saling mencintai atau punah.”